Badai Hidup Diana
Hari
ini adalah hari yang buruk bagi temanku, Diana. Karena, dua jam yang
lalu, dia telah resmi menjadi seorang buah hati yang berasal dari
keluarga broken home.
Bisa terbayangkan, bagaimana tersayatnya perasaan temanku dan kedua
saudaranya, ketika palu kuasa telah dibunyikan oleh hakim sebanyak dua
kali. Menandakan, bahwa kedua orang tuanya telah resmi bercerai.
Aku
menahan nafas sejenak. Kukira Diana adalah manusia yang beruntung.
Terlahir dari keluarga kaya raya. Segala kebutuhan dan keinginannya
dengan mudah dapat terpenuhi. Tetapi kejadian dua jam yang lalu yang
menimpanya membuatku tersentak tak percaya. Bagaimana mungkin kedua
orang tuanya bercerai? Perasaan selama ini, aku memandang keluarganya
cukup harmonis. Tak nampak sedikitpun guratan yang memberi kesan rumah
tangga retak.
Kumelangkah menuju lemari baju. Kuraih handphone china milikku dan kubuka conversation.
Terdapat riwayat sms-an ku dengan Diana pagi tadi. Sekitar pukul
sepuluh hingga pukul sebelas tepat. Kupandangi satu persatu pesan dari
dia dan balasan dariku. Air mataku hampir saja tumpah, seakan aku
merasakan apa yang dirasakan temanku itu. Kututup conversation, aku nonaktifkan handphone dan beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh muka.
Adzan
Subuh berkumandang di segala penjuru. Berpadu dengan suara kokok ayam
jantan dan cicit burung yang bersahutan. Menambah syahdu suasana fajar.
Aku segera bangkit dari tempat tidurku. Ketika aku akan beranjak menuju
mushola rumah, handphone ku bergetar. Satu pesan diterima, dari Diana.
“Ra, hari ini berangkat pagian ya, please! Aku butuh teman curhat.” From : Diana.
Aku menghela nafas, pasti masalah keluarganya. Aku hanya tersenyum dan meletakkan handphone-ku, lalu menuju ke mushola rumah.
Jam
enam lebih lima belas menit, aku telah sampai di depan kelasku.
Pintunya masih dikunci, kuncinya di pak penjaga. Aku segera menyusuri
koridor, mencari keberadaan Diana. Setelah lima menit mencari, akhirnya
aku menemukannya. Sesosok gadis dengan seragam OSIS berjilbab. Dihiasi
bross bunga berwarna pink menggantung di kerudungnya. Yeah, itulah
Diana. Dia sedang menangis di bangku taman, aku segera mendekatinya. Dia
tersenyum menyambut kehadiranku. Aku duduk di samping kanannya sambil
mengambil buku novel dari tasku. Diana lalu menatapku dengan matanya
yang sembab.
“Zahra, kamu mau membaca atau mau mendengarkan curhatku?” tanya Diana antusias.
Aku kaget mendengar perkataannya barusan. Kusegera menutup novelku dan memasukannya ke dalam tas.
“Sorry
Diana. Kukira kamu belum siap curhat. Makanya, aku menunggumu. Baiklah,
aku mau mendengarkan curhatmu, ceritalah,” kataku kemudian.
Diana
menarik nafas dalam, menatapku, lalu bercerita. Sesekali dia menangis.
Aku berusaha menenangkan dan menghiburnya. Ya Allah… berat nian
cobaannya.
Setelah
shalat Isya dan belajar, aku menuju kamarku. Aku merenungi nasib buruk
yang menimpa Diana. Benar-benar miris! Dia mendapatkan hak asuh ayahnya
bersama kakaknya. Sedangkan adiknya mendapat hak asuh ibunya. Diana yang
selalu membanggakan ayahnya, menganggap ayahnya adalah orang baik.
Ternyata diam-diam suka main perempuan. Aku tak bisa membayangkan,
bagaimana rasanya mempunyai ayah seperti ayahnya Diana. Dan pada saat
itu Diana pasti terpukul. Dia kini mengetahui mengapa ibunya menggugat
cerai pada ayahnya. Wanita mana yang mau dipermainkan oleh lelaki,
terlebih lelaki itu adalah suaminya sendiri?
Ditambah
lagi, Diana hampir saja kehilangan keperawanannya. Ray, pacarnya hampir
saja memperkosanya. Diana dengan sekuat tenaga menghindar dari
kebejatan nafsu Ray. Akhirnya dia berhasil dan berlari dari kejaran Ray
yang dalam kondisi mabuk plus
penuh nafsu birahi. Diana pun tak menyangka dengan Ray. Dia kira Ray
adalah anak yang pendiam, cerdas, dan asyik. Ternyata di balik itu, dia
adalah seorang yang amoral. Dia gemar keluar malam, pergi tidak jelas,
dan gemar melampiaskan nafsu yang ada pada dirinya dengan menghalalkan
segala cara, Naudzubillah….. Diana sangat terpukul. Karena, baru sekarang dia mengetahui semua kebejatan Ray, bagaimana Ray yang sesungguhnya
Waktu
sudah menunjukan pukul sebelas malam tepat, mataku sudah tak mampu lagi
tuk merekah. Aku memperbaiki posisi berbaringku, kulantunkan doa tidur
dalam hati. Lalu aku memejamkan mata. Ahh… aku berharap hari esok lebih
baik dari hari ini, untuk diriku terutama Diana. Semoga aku bisa
membantunya dalam menyelesaikan masalah beratnya.
Semester satu telah berakhir. Diana bercerita semua masalahnya ketika hari pertama class meeting.
Kini pembagian raport telah tiba. Ibuku dengan senyumnya yang menawan
menghampiriku sambil membawa raportku. Ternyata, aku berhasil masuk
sepuluh besar di kelas. Alhamdulillah…..aku
sangat bahagia. Tiba-tiba, mataku tertuju pada Diana. Dia tidak
menunjukkan wajah bahagia sepertiku, wajahnya sangat murung. Ayahnya
sudah pulang dari tadi. Ternyata prestasinya menurun drastis, dia
mendapat peringkat terakhir di kelasku. Aku tak menyangka, ternyata
masalah berat yang dialami Diana berpengaruh pada nilai akademisnya.
Aku
berusaha memberi ketenangan, nasihat, dan motivasi. Setelah itu
senyumnya mengembang. Dia mengucapkan terima kasih kepadaku dan
memelukku erat. Sungguh, aku mendapat pelajaran berharga, bahwa jangan
melihat seseorang dari sisi luarnya saja. Barangkali kita perlu mencoba
memahami sesuatu yang tak terlihat pada dirinya. Lalu, ketika
mendapatkan masalah berat, berusahalah ikhlas karena Allah bersama
hambanya yang mau berusaha, berdoa, dan tawakal. Janganlah terlalu
dipikirkan karena hal itu hanya akan berakhir dengan penyesalan yang tak
ada penyelesaian. Ini seperti yang dialami temanku, Diana.