SALING BERBAGI UNTUK SEMUA

Kamis, 21 November 2013

Selayaknya Kisah Mereka
Karya Noviana Kusumawati


Selayaknya Kisah Mereka
Satu persatu helaian daun mulai berguguran. Angin seakan begitu bahagia menggoda daun-daun untuk lepas dari belenggu batang agar ikut menari indah sesuai lantunan iramanya. Di negeriku memang tak mengenal musin gugur, ini adalah sebuah sapaan hangat pertanda tetes-tetes air sang hujan akan turun atau bahkan hanya mengecoh. Tapi saat ini langit memang tampak muram dihiasi mendung pekat. Cuaca seperti ini sangat tidak disukai oleh sebagian orang kecuali seorang Karina Larasati, itu aku.
Akhirnya rintihan hujanpun mulai menyapa, memang tak begitu deras tapi inilah yang sangat aku tunggu, disaat seperti ini selalu menginspirasiku untuk berkarya. Menulis cerpen, artikel maupun puisi adalah duniaku yang kedua. Di dunia kedua inilah yang bisa membuat hidupku lebih dari sempurna, karena aku bisa berbuat apapun sesukaku dan semauku, aku berhak menentukan jalan cerita hidupku sendiri, berhak memainkan peran apapun, berhak dicintai dan mencintai siapa saja.
Pena yang ku pegang mulai menggorekan tintanya, semua yang mengalir di benakku perlahan tertuang. Semua mengalir dengan lancar, apalagi lagi didukung suasana yang bersahabat. Ya bersahabat bagiku pastinya. Disini, dibangku kayu ini aku duduk sembari memainkan tinta menari di kertas putih. Bangku ini mempunyai atap cukup lebar sehingga hujan tak sempat membasahiku, hanya hawa dingin angin yang berhasil mencolek. Sekelilingnyapun dihiasi oleh tanaman hijau yang saat ini tertunduk malu oleh hujan. Sesekali ku perhatikan sekeliling, tampak beberapa orang sedang berteduh di halte sambil mengepalkan kedua tangannya di dada, menahan dingin dan menahan rasa sebal. Benar kan yang aku bilang, bagi sebagian orang cuaca seperti ini sangat tidak disukai.
Aku sedang merambat masuk ke dalam dunia Romeo dan Juliet. Aku ingin mengisahkan kisah cinta sejati itu, dan tentunya menurut versiku. Akhir ceritanya ingin aku ubah, tak ada kematian karena cinta sejati harus tetap hidup. Seperti yang sudah aku katakan, ini adalah duniaku. Aku berhak mengatur jalan hidup sesuai keinginanku.
Hujan mulai mereda disusul oleh bunyi ponsel yang berdering menandakan kotak masuk terdapat pesan baru.
Karin, lo dimana?
Bisa ke rumah gue kan?
Aku masukkan kembali ponselku ke dalam saku celana setelah membalas pesan singkat dari Tere. Aku sudah paham betul maksud dari pesannya tadi. Teresia Anastasya, kami sudah bersahabat sejak SMP. Persahabatan itu berawal ketika aku dan Tere ditugaskan untuk menjadi satu kelompok dalam praktik biologi. Tere seorang perempuan yang cerdas, nilai ujiannya selalu di atasku. Tapi satu kebiasan buruk Tere yang membuatku harus ekstra sabar, dia orangnya mudah sekali panik apalagi jika masalahnya behubungan dengan cowok bernama Bima.
***
"Kenapa lagi?" tanyaku dengan nada sabar. Benarkan dugaanku, lagi-lagi Bima.
“Ya gue merasa nggak adil aja, Rin,” Tere mengeluh dengan muka memelas sambil memeluk boneka beruang biru besar pemberian Bima sebagai hadiah ulang tahunnya. Kantung matanyapun tampak sembab, pasti tadi dia habis nangis.
“Nggak adil bagaimana? Memang keadilan seperti apa yang kamu inginkan? Apa kamu masih berharap supaya Bima memperjuangkan cinta kalian,” kembali aku bertanya pada Tere tentang ketidakadilan yang dia rasakan sambil menaikkan sedikit garis alisku. Dan aku masih hafal betul, ini bukan pertanyaan pertamaku.
“Iya, tapi dia malah pasrah gitu aja terima undangan pernikahan gue sama orang yang sama sekali nggak gue impikan,” jelasnya sambil merebahkan diri di atas kasur empuknya.
Aku menghela nafas lagi untuk kesekian kalinya. Sejenak aku menengadahkan kepala ke atas memperhatikan langit-langit kamar Tere yang bercat warna biru langit. Warna biru memang selalu bisa memberikan ketenangan dan semoga Tere juga bisa merasakan ketenangan itu.
“Kalau kamu merasa seperti itu, aku rasa dia juga berfikir sama kayak kamu. Ngerti kan maksudku?” aku menoleh ke arah Tere. Seketika pandanganku tertuju pada meja yang berada tepat disamping tempat tidur Tere, sebuah bingkai foto tampak tertelungkup.
“Gue nggak yakin. Mukanya datar-datar aja waktu terima undangan dari gue?” Tere bergumam, tapi aku lebih tertarik untuk melihat bingkai foto siapa yang dibiarkan rebah. Ketika aku balikkan, ternyata itu adalah foto Tere dan Bima ketika sama-sama berlibur ke Lombok. Ya, aku ingat betul karena akulah fotografernya. Tergerak aku kembalikan bingkai foto itu tegak kembali.
“Kamu kan udah lama pacaran sama Bima, masa nggak nyadar kalau wajah Bima itu memang lempeng nyaris tanpa ekspresi,” lanjutku kemudian.
“Dia itu cool bukannya lempeng, Karin,” seperti biasa dengan bibir manyun Tere selalu protes setiap aku bilang kalau si Bima itu punya wajah yang lempeng.
“Ya udah, jadi aku bisa bantuin apa buat kamu?” tanyaku pasrah.
“Gue cuma mau tau, gimana jelasnya perasaan Bima sebenarnya ke gue. Tolong ya Rin, gue mohon banget,” lagi-lagi Tere memasang wajah memelas, wajah inilah yang selalu membuatku merasa tak tega untuk menolak.
“Kenapa nggak kamu sendiri saja yang bicara berdua sama Bima. Menurutku itu akan lebih baik,” lanjutku sebelum resmi aku mengabulkan permohonannya.
Tapi lagi-lagi Tere memasang wajah memelas bahkan tambah parah, kedua telapak tangannya ditangkupkan seperti layaknya orang memberi hormat di keluarga keraton.
“Oke, besok aku coba bicara sama Bima.” Tampak senyum Tere terkembang lebar, dihiasi dua lesung pipi yang bertengger manis di pipi kiri dan kanannya.
***
Hari ini akhirnya aku membuat janji untuk bertemu dengan Bima. Aku sengaja datang lebih awal, rencananya aku akan melanjutkan cerita tentang kisah sang Romeo dan Julietku. Saat ini aku sedang di sebuah kafe, pengunjung di kafe ini tidak terlalu ramai. Wajar saja jam makan siang sudah berlalu sekitar satu jam yang lalu. Di depanku sudah tersedia secangkir cappuccino panas yang uapnya masih tampak. Cuaca memang agak mendung menyebarkan hawa dingin, di negeriku memang sedang musin penghujan saat ini.
Sebenarnya bisa dibilang aku kuranng konsentrasi untuk meneruskan cerita yang sedang aku tuangkan dalam tulisan. Konsentrasiku terpecah pada Tere dan Bima.
Singkat cerita tentang Tere dan Bima. Tere terpaksa menerima pinangan laki-laki yang tidak dia suka namanya Billy, bahkan dia pun tidak terlalu mengenal Billy sebelumnya. Menurut cerita Tere, Billy adalah anak dari atasan ayahnya bernama Pak Santosa Atmawijaya. Dan sekarang Pak Santosa tengah kritis akibat penyakit ginjalnya. Pak Santosa mau kalau anak laki-laki satu-satunya itu menikah dengan anak Pak Ridwan, ayah Tere. Pak Ridwan sudah menjadi orang kepercayaan Pak Santosa selama ini. Entah ini demi siapa, akhirnya Tere menerima pinangan itu.
“Hai,,, koq melamun aja. Udah dingin tuh minumannya.”
Aku sedikit kaget dengan suara bass milik Bima. Laki-laki itu kini sudah duduk di kursi depanku dan langsung memesan segelas cappuccino hangat, sama sepertiku. Tanpa sengaja aku memperhatikan Bima. Ada sepasang mata yang terbingkai indah dibawah alis tebal yang melengkung sempurna. Tapi satu yang menurutku agak aneh, seperti yang sudah kubilang wajahnya nyaris tanpa ekspresi.
“Kenapa sih Karin? Gue kesini bukan buat liat loe bengong kan?” Bima melambaikan tanganya di depan mukaku. Lagi-lagi aku terlihat sedang melamun, dan itu aku tak sengaja.
“Apa kabar kamu sama Tere?” aku mulai bertanya. Sebenarnya aku bingung mau memulai dari mana.
“Gue kira pasti loe udah tau,”jawab Bima santai sambil mengaduk-aduk cappucinonya.
“Sebaiknya kalian berdua bicara langsung,” aku putuskan untuk to the point saja, malas rasanya berlama-lama bicara dengan si wajah tanpa ekspresi ini. Lagian hujan yang selalu aku nantikan saat ini sudah mulai menitik.
“Tapi buat apa? Apa yang harus dibicarakan, semua kan udah jelas. Tere lebih memilih cowok pilihan orang tuanya daripada gue.”
“Tere punya alasannya. Tere cuma mau kamu perjuangin cinta kalian. Kalau aku lihat dari mata kalian berdua, sebenarnya kalian punya rasa cinta yang besar tapi sayangnya sikap egois dan gengsi kalian juga sama besarnya,”
“Nggak ada gunanya, Karin. Buat apa kalo cuma gue yang berjuang, sedangkan dia pasrah gitu aja,” kata Bima mulai sewot.
“Kan sudah aku bilang, Tere punya alasan. Dan darimana kamu tau kalau nggak ada gunanya, kamu belum mencoba,” aku menghela nafas. Suasana hatiku mulai sedikit panas, dan aku rasa Bima juga begitu.
“Aku mohon, coba fikirkan lagi. Aku cuma nggak mau Tere terus-terusan sedih,” lanjutku dengan nada lunak, aku hanya tidak mau mengecewakan sahabatku.
Terlihat Bima berfikir sejenak. “Okey, gue bakalan coba.” Aku mengembangkan senyum terima kasih. Bima lalu menyeruput cappucinonya, tersenyum dan pergi. Baru kali ini aku lihat Bima tersenyum dengan penuh ketulusan.
Dan akhirnya aku juga memutuskan untuk pulang. Otakku buntu, inspirasi kisah Romeo dan Julietku tiba-tiba menghilang. Padahal hujan selalu menginspirasiku tapi kali ini tidak. Aneh.
***
Dua hari kemudian.
Kematian selalu bisa membuat orang merenung. Mencoba mencerna setiap sapaan maut yang bisa datang kapan saja, tiba-tiba dan sesukanya. Begitu juga dengan Romeo dan Julietku, ternyata memang harus maut yang memisahkan. Dan aku belajar satu hal. Jika sebuah takdir harus dipisahkan oleh maut, berarti itulah yang terbaik.
Saat ini aku sedang berada dihadapan mereka yang ditakdirkan untuk berpisah oleh maut. Pagi buta aku mendapat kabar kematian itu. Aku saja belum lupa senyum mereka yang sekarang terbaring dengan tubuh kaku mendingin.
Tere dan Bima tewas dalam kecelakaan motor saat mereka pergi jalan-jalan untuk melepas rindu, itu yang aku tau. Aku belum sempat bertanya lebih, aku cukup tau untuk tidak membuat orang tuanya lebih terpuruk. Yang aku tau, kini cinta Tere dan Bima sang Romeo dan Julietku telah abadi selamanya. Selamat jalan Romeo dan Julietku. Kalianlah inspirasiku.

THE END

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar